Jumat, 15 November 2013

Pakaian adat

Pakaian adatnya pria Kalimantan Tengah berupa kepala berhiasankan bulu-bulu enggang, rompi dan kain-kain yang menutup bagian bawah badan sebatas lutut. Sebuah tameng kayu hiasan yang khas bersama mandaunya berada di tangan. Perhiasan yang dipakai berupa kalung-kalung manik dan ikat pinggang.

Wanitanya memakai baju rompi dan kain (rok pendek), tutup kepala berhiaskan bulu-bulu enggang, kalung manik, ikat pinggang dan beberapa gelang tangan.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLp5bL6WwWpCzmkB0P1B_26xAcO9LMHVQu_V9XKeo4c58ddJs01w53h40glIRSgy7dwkklBvDkhy9SnQWSvWu7LO0lHmYZdFH2OEzi24Wf5cxyNpOICjesZXDTE0arP4_6cLSnkNOS8w9x/s320/pakaian-adat-dayak-kalimantan-barat-pakaian-tradisional-dayak-kalimantan-barat-kalbar.jpg
Pakaian Adat Kalteng


Beratus tahun lalu masyarakat Dayak membuat busana dengan bahan dasar kulit kayu yang disebut kulit nyamu. Kulit kayu dari pohon keras ini ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Setelah dianggap halus "kain" itu dipotong untuk dibuat baju dan celana.

Model busananya sangatlah sederhana dan semata mata hanya untuk menutupi badan. Bajunya berupa rompi unisex tanpa hiasan apapun. Rompi sederhana ini dalam bahasa Ngaju disebut sangkarut. Celananya adalah cawat yang ketika dikenakan bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang yang disebut ewah. Busana itu berwarna coklat muda (warna asli kayu), tak diberi hiasan, tak pula diwarnai sehingga kesannya sangat alamiah.

Akan tetapi naluri berdandan, yang konon telah bangkit pada hati setiap manusia sejak ribuan tahun silam, mengusik hasrat masyarakat Dayak Ngaju untuk "mempercantik" penampilan. Maka baju kulit kayu sederhana itu pun lalu dilengkapi dengan aksesori ikat kepala (salutup hatue untuk kaum lelaki dan salutup bawi untuk para perempuan), giwang (suwang), kalung, gelang, rajah (tatoo) pada bagian-bagian tubuh tertentu, yang bahannya juga dipungut dari alam sekitar. Biji-bijian, kulit kerang, gigi dan taring binatang dirangkai menjadi kalung, gelang terbuat dari tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras, dan berbagai aksesori lainnya yang berasal dari limbah keseharian mereka. Kesederhanaan pakaian kulit kayu itu kemudian memancarkan esensi keindahan karena imbuhan warna warni flora dan fauna yang ditambahkan sebagai pelengkap busana.

Pada perkembangan selanjutnya masyarakat Dayak Ngaju pun mulai membubuhkan warna dan corak hias pada busana mereka. Bahan pewarna itu secara kreatif diolah dari alam sekitar mereka. Misalnya saja, warna hitam dari jelaga, warna putih dari tanah putih dicampur air, warna kuning dari kunyit dan warna merah dari buah rotan. Corak hias yang digambarkan pada busana juga diilhami oleh apa yang mereka lihat di alam sekelilingnya. Maka tampillah bentuk flora dan fauna, bunga, dedaunan, akar pohon, burung, harimau akar, dan sebagainya yang menjadi corak hiasan busana adat mereka. Keyakinan dan alam mitologi juga memberi inspirasi pada penciptaan ragam corak hias busana adat sehingga gambar-gambar itu, selain tampil artistik, juga mempunyai makna simbolik. Pengaruh agama Hindu pada kepercayaan asal masyarakat Ngaju yang cenderung animistik, misalnya, melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan. Sinkretisme itu melahirkan berbagai keyakinan dan mitologi dan mengilhami lahirnya corak hias naga, manusia, dan sebagainya yang bermakna sangat filosofis.

Salah satu mitologi masyarakat Dayak Ngaju yang terkenal adalah tentang penciptaan alam yang melahirkan simbolisasi "pohon hayat" atau "pohon kehidupan" dalam bentuk corak hias yang dikenal dengan nama batang garing. Corak hias ini sangat berarti bagi masyarakat Dayak Ngaju sehingga busana adat untuk upacara penting - misalnya upacara tiwah (dalam kepercayaan Kaharingan, untuk mengantar ruh manusia yang meninggal dunia ke peristirahatannya), upacara meminta hujan, upacara pengobatan belian obat diharuskan mengenakan pakaian adat dengan corak hias batang garing. Selain itu, diatur pula pemakaian corak hias busana adat yang berbeda beda untuk perempuan dan laki laki serta beda pula untuk para pemuka kelompok, para tetua adat, panglima perang, kepala suku dan ahli pengobatan.


Inovasi yang paling signifikan pada rancangan busana masyarakat Dayak adalah penguasaan keterampilan menjalin serat alam. Teknik menenun, konon, diperkenalkan kepada masyarakat Ngaju oleh orang-orang Bugis. Maka kulit kayu yang semula hanya ditempa menjadi lembaran-lembaran "kain", kini diolah dengan teknik yang memerlukan kesabaran dan konsentrasi tinggi. Dari kulit kayu yang telah dihaluskan mereka membuat serat yang dicelup oleh bahan pewarna alam sehingga dihasilkan benang yang tak tunggal warna. Mereka pun lalu menciptakan alat penjalin untuk "merangkai" serat demi serat menjadi bentangan bahan busana untuk baju, celana, ikat kepala, dan kelengkapan lainnya. Eksplorasi terus dilakukan untuk mencari bahan-bahan lain yang bisa dibuat benang. Mereka kemudian melirik rotan, rumput rumputan, akar tumbuhan, sehingga "kain" yang dihasilkan menjadi beragam. Rancangan dan fungsi busana pun turut berkembang. Pakaian yang dibuat bukan lagi hanya untuk fungsi yang paling mendasar yakni baju dan celana untuk melindungi bagian tubuh yang dianggap paling penting saja, tapi diperluas untuk keperluan lainnya. Umpamanya saja sangkarut perang dari jalinan rotan (sangkarut perang) untuk penahan tusukan anak panah, sumpit, dan tombak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar